Rabu, 28 Maret 2012


Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Kerangka Dasar Agama Islam



BAB I
A.    Latar Belakang
Agama Samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim ada 3, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Ketiga agama ini mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan yang beberapa di antaranya sangat mendasar. Yahudi adalah agama tribal/kesukuan yang hanya bisa dianut oleh bangsa Yahudi. Agama ini tidak bisa disebarkan ke luar dari suku Yahudi. Oleh karena itu jumlahnya tidak berkembang. Hanya sekitar 14 juta pemeluknya di seluruh dunia. Sementara agama Nasrani dan Islam karena disebarkan ke seluruh manusia dipeluk oleh milyaran pengikutnya.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa Penjelasan Kerangka Dasar Ajaran Islam ?
2.    Apa Unsur-unsur Ajaran Islam?
3.    Bagaimana Fungsi dan Kedudukan Ajaran/Aqidah Islam ?


C.    Tujuan
1.    Menjelaskan Definisi Dasar Ajaran Islam
2.    Menjelaskan Unsur-unsur Ajaran Islam
3.    Mengetahui Fungsi dan Kedudukan Ajaran/Aqidah Islam






BAB. II
PEMBAHASAN
A.              KERANGKA DASAR  AJARAN ISLAM
Islam pada hakikatnya adalah aturan atau undang – undang Allah yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang meliputi perintah dan larangan serta petunjuk supaya menjadi pedoman hidup dan kehidupan umat manusia guna kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Secara umum aturan itu dibagi menjadi 3 hal pokok, yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlaq.

1. Aqidah
            Aqidah adalah sistem keyakinan yang mendasari seluruh aktivitas muslim. Ajaran Islam berisikan tentang apa saja yang mesti dipercayai, diyakini, dan diimani oleh setiap muslim. Karena agama Islam bersumber kepada kepercayaan dan keimanan kepada Allah swt, maka aqidah merupakan sistem kepercayaaan yang mengikat manusia kepada Islam. Seorang manusia disebut muslim jika dengan penuh kesadaran dan ketulusan bersedia terikat dengan sistem kepercayaan Islam. Karena itu, aqidah merupakan ikatan dan simpul dasar dalam Islam yang pertama dan utama.
Aqidah dibangun atas 6 dasar keimanan yang lazim disebut Rukun Iman. Rukun iman meliputi : iman kepada Allah swt, para malaikat, kitab – kitab, para Rasul, hari akhir, dan Qodlo dan Qodar. Allah berfirman dalam QS.An-Nisa’, ayat 136 yang artinya  “ Wahai orang yang beriman, tetaplah beriman kepaada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang diturunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barang siapa ingkar kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh- jauhnya”.
            Berdasarkan 6 fondasi tersebut, maka keterikatan setiap muslim yang semestinya ada pada jiwa setiap muslim adalah :
  1. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang terakhir, mengandung syariat yang menyempurnakan syariat – syariat yang diturunkan Allah sebelumnya.
  2. Meyakini bahwa Islam adalah satu- satunya agama yang benar di sisi Allah. Islam dating dengan membawa kebenarana yang bersifat absolute guna menjadi pedoman hidup dan kehidupan manusia selaras dengan fitrahnya.
  3. Meyakini bahwa Islam adalah agama yang universal serta berlaku untuk semua manusioa dalam segala lapisan masyarakat dan sesuai dengasn tuntutan budaya manusia.

2. Syari’ah
            Komponen Islam yang kedua adalah syari’ah yang berisi peraturan dan perundang- undangan yang mengatur aktifitas yang seharusnya dikerjakan manusia. Syari’at adalah sistem nilai yang merupakan inti ajaran Islam. Syari’ah aatau sistem nilai Islam yang diciptakan oleh Allah sendiri. Dalam kaitan ini, Allah disebut Syaari atau pencipta hukum.
            Sistem nilai Islam secara umum meliputi 2 bidang :
  1. Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Allah (ibadah mahdah / khusus). Disebut ibadah mahdah karena sifatnya yang khas dan sudah ditentukan secara pasti oleh Allah dan dicontohkan secara rinci oleh Allah. Dalam konteks ini, syari’at berisikan ketentuan tentang tata cara peribadatan manusia kepada Allah, seperti kewajiban shalat, puasa, zakat, haji.
  2. Syari’at yang mengatur hubungan manusia secara horizontal dengan sesama dan makhluk lainnya ( mu’amalah ). Mu’amalah meliputi ketentuan perundang- undangan yang mengatur segala aktivitas hidup manusia dalam pergaulan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Adanya sistem mu’amalah ini membuktikan bahwa Islam tidak meninggalkan urusan dunia, bahkan tidak pula melakukan pemisahan terhadap persoalan dunia maupuu akhirat. Bagi Islam, ibadah yang diwajibkan Allah atas hambanya bukan sekedar bersifat formal belaka, melainkan disuruhnya agar semua aktivitas hidup dijalankan manusia hendaknya bernilai ibadah. Ajaran ini sesuai dengan ajaran Islam tentang tujuan diciptakannya manusia supaya beribadah. Allah berfirman dalam QS. Az-Zarariyat, ayat 56


Dan tiadalah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya beribadah kepada- Ku
Hubungan horizontal ini disebut pula dengan ibadah gairu mahdah / umum karena sifatnya umum, di mana Allah atau Rasul-Nya tidak memerinci macam dan jenis perilakunya, tetapi hanya memberikan prinsip dasarnya saja.

3. Akhlaq
            Akhlaq merupakan komponen dasar Islam yang ketiga yang berisi ajaran tentang perilaku atau sopan santun. Akhlaq maupun syari’ah pada dasarnya membahas perilaku manusia, tetapi yang berbeda di antaranya adalah obyek materia. Syari’ah melihat perbuatan manusia darin segi hukum yaitu : wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Sedangkan aklaq melihat perbuatan manusia dari segi nilai / etika, yaitu perbuatan baik ataupun buruk.
            Akhlaq merupakan sistematika Islam, sebagai sistem, akhlaq memiliki spektrum yang luas, mulai sikap terhadap dirinya, orang lain, dan makhluk lain, serta terhadap Allah SWT.

4. Keterkaitan antara Aqidah, Syari’ah, dan Akhlaq
            Aqidah, Syari’ah, dan Akhlaq pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
            Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen – elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syari’ah sebagai sistem nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sdangkan akhlaq sebagai sistem etika menggambarkan arah dan tujuan yuang hendak dicapai agama. Oleh karena itu, ketiga komponen tersebut seyogyanya terintegrasi dalam diri seorang muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah pohon. Akarnya adalah aqidah, sementar batang, dahan, dan daunnya adalah syari’ah, sedangkan buahnya adalah aqidah. Muslim yang baik adalah orang yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syari’ah yang hanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar akhlaq yang terpuji.
            Atas dasar hubungan itu, maka :
·         Seseorang yang melakukan suatu perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi oleh aqidah , maka orang itu termasuk dalam kategori kafir.
·         Seseorang yang mengaku beraqidah, tetapi tidak mau melaksanakan syari’ah, maka orang itu disebut fasik.
·          Seseorang yang mengaku beraqidah dan melaksanakan syari’ah, tetapi dengan landasan aqidah yang tidak lurus, maka orang itu disebut munafik.
v  Seseorang yang melakukan perbuatan baik, tetapi tidak dilandasi aqidah, maka perbuatannya hanya dikategorikan sebagai perbuatan baik. Perbuatan baik adalah perbuatan yang sesuai dengan nilai- nilai kemanusiaan, tetapi belum tentu dipandang benar menurut Allah.
v  Perbuatan baik yang didorong oleh keimanan terhadap Allah sebagai wujud pelaksanaan syari’ah disebut sebagai amal sholeh. Oleh karena itu, dala Al-Qur’an kata amal sholeh selalu diawali dengan kata iman, antar lain dalam QS. An-Nur, ayat 55

B.   Unsur-unsur Ajaran Islam
Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama Islam dapat dijelaskan sesuai hadist riwayat Muslim dibawah ini :
Dari Umar ra. juga dia berkata : “Ketika kami duduk-duduk disisi Rasulullah s.a.w suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah s.a.w) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah s.a.w, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia berkata, “anda benar“.
Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukan aku tentang Iman?“ Lalu beliau bersabda, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata, “anda benar“. Kemudian dia berkata lagi, “Beritahukan aku tentang ihsan ?“. Lalu beliau bersabda, “ Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian dia berkata, “ Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau bersabda, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya “. Dia berkata, “ Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda, “Jika seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah s.a.w) bertanya, “Tahukah engkau siapa yang bertanya ?”. aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian“. (HR. Muslim).
Hadits ini menerangkan pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan serta memperhatikan isi Al Qur’an secara keseluruhan maka dapat dikembangkan bahwa pada dasarnya sistematika dan pengelompokkan ajaran Islam secara garis besar adalah aqidah, syariah dan akhlak.
Ditinjau dari ajarannya, Islam mengatur berbagai aspek kehidupan pada manusia yang meliputi :
1.      Hubungan manusia dengan Allah (Hablum Minallah).
Sesuai firman yang berbunyi :
”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku”. (QS.51: 56)
2.      Hubungan Manusia dengan Manusia (Hablum minan-Naas).
Sesuai firman yang berbunyi :
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan”. (QS.5:2).
3.      Hubungan manusia dengan makhluk lainnya/ lingkungan.
Sesuai firman yang berbunyi :
”Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmuran”. (QS.11:61)
Vera Micheles Dean dalam bukunya ”The Nature of The Non Western World”, sebagaimana dikutip Humaidi Tata Pangarsa; bahwa Islam meliputi empat unsur yaitu  :
1.      Islam is religion.
2.      Islam is political system.
3.      Islam is way of live.
4.      Islam is interpretation of history.



Dilihat secara parsial maka Dinul Islam dapat dibedakan kepada :
1.      Iqlimiyah Al-Islam
Adanya ajaran – ajaran Islam yang berbeda dalam satu iklam (wilayah) dengan wilayah lainnya sebagai akibat perbedaan situasi dan kondisi.
2.      Alqawa’id Al-Hikmah
Ajaran Islam yang memiliki kontek keberlakuan akidah secara mendunia sepanjang masa.


C.  KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM

i
    1. Pengertian Aqidah
    Aqidah secara bahasa berasal dari kata (  عقد) yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang.
    Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab r.a. yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
    1. Kedudukan Aqidah dalam Islam
    Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
    Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman,
    فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
    Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
    Allah swt juga berfirman,
    وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
    Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
    Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
     SUMBER, METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH ISLAM
    1. Sumber-sumber Aqidah Islam
    A Pengertian Aqidah
Aqidah secara bahasa berasal dari kata (  عقد) yang berarti ikatan. Secara istilah adalah keyakinan hati atas sesuatu. Kata ‘aqidah’ tersebut dapat digunakan untuk ajaran yang terdapat dalam Islam, dan dapat pula digunakan untuk ajaran lain di luar Islam. Sehingga ada istilah aqidah Islam, aqidah nasrani; ada aqidah yang benar atau lurus dan ada aqidah yang sesat atau menyimpang.
Dalam ajaran Islam, aqidah Islam (al-aqidah al-Islamiyah) merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk. Hal ini didasarkan kepada Hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Shahabat Umar bin Khathab r.a. yang dikenal dengan ‘Hadits Jibril’.
  1. Kedudukan Aqidah dalam Islam
Dalam ajaran Islam, aqidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah swt berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Allah swt juga berfirman,
وَلَقَدْ أُوحِىَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِّنَ الْخَاسِرِينَ.
Artinya: “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah saw berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
 SUMBER, METODE DAN CARA PENGAMBILAN AQIDAH ISLAM
  1. Sumber-sumber Aqidah Islam
Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah terbatas pada al-Quran dan Sunnah saja. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
  1. Metode Memahami Aqidah Islam dari Sumber-sumbernya Menurut Para Shahabat
Generasi para shahabat adalah generasi yang dinyatakan oleh Rasululah sebagai generasi terbaik kaum muslimin. Kebaikan mereka terletak pada pemahaman dan sekaligus pengamalannya atas ajaran-ajaran Islam secara benar dan kaffah. Hal ini tidak mengherankan, karena mereka adalah generasi awal yang menyaksikan langsung turunnya wahyu, dan mereka mendapat pengajaran dan pendidikan langsung dari Rasulullah saw. Setelah generasi shahabat, kualifikasi atau derajat kebaikan itu diikuti secara berurutan oleh generasi berikutnya dari kalangan tabi’in, dan selanjutnya diikuti oleh generasi tabi’ut tabi’in. Tiga generasi inilah yang secara umum disebut sebagai generasi salaf. Rasulullah bersabda tentang mereka,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ…
Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah generasi pada masaku, lalu generasi berikutnya, lalu generasi berikutnya…” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Generasi salaf yang shalih (al-salaf al-shalih) mengambil pemahaman aqidah dari al-Quran dan sunnah dengan metode mengimani atau meyakini semua yang diinformasikan (ditunjukkan) oleh kedua sumber tersebut. Dan apa saja yang tidak terdapat dapat dalam kedua sumber itu, mereka meniadakan dan menolaknya. Mereka mencukupkan diri dengan kedua sumber tersebut dalam menetapkan atau meniadakan suatu pemahaman yang menjadi dasar aqidah atau keyakinan.
Dengan metode di atas, maka para shahabat, dan generasi berikutnya yang mengikuti mereka dangan baik (ihsan), mereka beraqidah dengan aqidah yang sama. Di kalangan mereka tidak terjadi perselisihan dalam masalah aqidah. Kalau pun ada perbedaan, maka perbedaan di kalangan mereka hanyalah dalam masalah hukum yang bersifat cabang (furu’iyyah) saja, bukan dalam masalah-masalah yang pokok (ushuliyyah). Seperti ini pula keadaan yang terjadi di kalangan para imam madzhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah (th. 699-767 M), Imam Malik (tahun 712-797), Imam Syafi’i (tahun 767-820), dan Imam Ahmad (tahun 780-855 M).
Karena itulah, maka mereka dipersaksikan oleh Rasulullah saw sebagai golongan yang selamat, sebagaimana sabda beliau,
قَالَ : مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
Artinya: “Mereka (golongan yang selamat) adalah orang-orang yang berada di atas suatu prinsip seperti halnya saya dan para shahabat saya telah berjalan di atasnya.” (H.R. Tirmidzi)
BAB. III
PENUTUP
A.            KESIMPULAN
RANGKA AJARAN ISLAM 
1.      Aqidah
2.      Syariah
3.      Akhlaq
UNSUR-UNSUR AJARAN ISLAM
1.      Hubungan manusia dengan Allah (Hablum Minallah).
2.      Hubungan Manusia dengan Manusia (Hablum minan-Naas).
3.      Hubungan manusia dengan makhluk lainnya/ lingkungan.
KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM
  Merupakan keyakinan atas sesuatu yang terdapat dalam apa yang disebut dengan rukun iman, yaitu keyakinan kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta taqdir baik dan buruk.
B.  KRITIK DAN SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

Makalah Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah


BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
            Dalam era otonomi daerah sesuai dengan ketentuan dalam UU No 22 Tentang Pemerintahan Daerah, maka kewenangan daerah akan sedemikian kuat dan luas sehingga diperlukan suatu peraturan perundang-undangan yang ketat untuk menghindari ketidakteraturan dalam menyusun kebijakan dalam bidang lingkungan hidup terutama dalam masalah penanganan penegakan hukum lingkungan dalam era otonomi daerah.
Kewenangan pemerintah Daerah menurut UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sangatlah besar sehingga tuntutan untuk meningkatkan kinerja dan penerapan kebijakan dalam bidang lingkungan hidup sangatlah dibutuhkan.
Sistem Pemerintahan Daerah otonom sebelum UU No 22 tahun 1999 terbagi dalam Sistem Pemerintahan Administratif dan Otonomi, dalam Sistem Pemerintahan Administratif Pemerintah Daerah berperan sebagai pembantu dari penyelenggaraan pemerintah pusat yang dikenal sebagai azas dekosentrasi dalam UU No 54 tahun 1970 tentang Pemerintah Daerah, hal ini diaplikasikan dalam Pemerintahan Daerah Tingkat I dan Pemerintahan Daerah tingkat II.
Sedangkan dalam Sistem Pemerintahan Otonomi Pemerintahan Daerah adalah mandiri dalam menjalankan urusan rumah tanganya. Pemerintahan Daerah memerlukan alat-alat perlengkapannya sendiri sebagai pegawai/pejabat –pejabat daerah dan bukan pegawai/pejabat pusat. Memberikan wewenang untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri berarti pula membiarkan bagi daerah untuk berinisiatif sendiri dan untuk merealisir itu, daerah memerlukan sumber keuangan sendiri dan pendapatan-pendapatan yang diperoleh dari sumber keuangan sendiri memerlukan pengaturan yang tegas agar di kemudian hari tidak terjadi perselisihan antara pusat dan daerah mengenai hal –hal tersebut diatas.
Tetapi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka terjadi perubahan besar dalam kewenangan Pemerintahan Daerah.
Pengelolaan lingkungan hidup sangatlah penting untuk dilihat dalam era otonomi daerah sekarang ini karena lingkungan hidup sudah menjadi isu internasional yang mempengaruhi perekonomian suatu negara.
Pemerintahan Daerah diberikan kekuasaan yang sangat besar dalam mengelola daerahnya terutama sekali Pemerintahan Kota atau Kabupaten.
Dalam makalah ini akan dibahas masalah lingkungan hidup di era otonomi daerah dan bagaimana Kewenangan daerah terhadap lingkungan hidup juga akibat kewenangan yang besar tersebut.
B. Alasan Penulisan Judul
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan, adalah “memberikan penjelasan tentang kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah serta dampaknya di bidang lingkungan hidup”
C.  Maksud dan Tujuan
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah memberikan masukan dan informasi yang jelas kepada mahasiswa dan pelajar tentang bagaimana kewenangan dan dampak dari kewenangan yang dijalankan oleh Pemerintahan Daerah di bidang Lingkungan Hidup.












BAB II
Permasalahan

A.   Bagaimana Kewenangan Pemerintah Daerah dijalankan dalam bidang lingkungan hidup?
B.   Apa dampak dari Kewenangan tersebut terhadap lingkungan hidup?
C.  Bagaimana Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melakukan   pengelolaan lingkungan hidup?
D.  Bagaimana Menganalisa Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah?











BAB III
Pembahasan

A.        Pemerintah Kewenangan Pusat dan daerah dalam UU No 22 tahun 1999.
Dalam bidang lingkungan hidup kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan akan tetapi dengan adanya UU No 22 tentang Otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terbagi dua hal ini dapat dicermati dalam pasal 7 UU NO 22 tahun 1999, yaitu:
(1) Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintah, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat(1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Dalam UU nomor 22 tahun 1999 memperlihatkan kewenangan pemetrintah pusat yang ingin dibagi kepada daerah akan tetapi jika dilihat dari pasal 7 ayat 2 sangat terlihat pembatasan kewenangan pemerintahan daerah, sebenarnya pasal 7 ayat 2 harus diperjelas lagi apa yang dimaksud dengan kewenangan bidang lain yang diatur oleh UU No 22 tahun 1999. Kalau dilihat dari ayat 2 maka akan terlihat kewenangan pemerintah pusat yang masih besar.
B.  Penjelasan Kewenangan dalam Sistem Pemerintahan setelah UU No 22 tahun 1999
Untuk mengantisipasi berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tim kerja Menko Wasbangpan dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal telah mencoba merumuskan interpretasi kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.



Secara umum, kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi :
· Kewenangan Pusat
· Kewenangan Propinsi
· Kewenangan Kabupaten/Kota.
Kewenangan Pusat terdiri dari kebijakan tentang :
· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;
·Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;
·Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
·Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;
·Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
·Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;
·Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;
·Standarisasi nasional;
·Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.
Kewenangan Propinsi terdiri dari :
· Kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota;
· Kewenangan dalam bidang tertentu, seperti perencanaan pengendalian pembangunan regional secara makro, penentuan baku mutu lingkungan propinsi, yang harus sama atau lebih ketat dari baku mutu lingkungan nasional, menetapkan pedoman teknis untuk menjamin keseimbangan lingkungan yang ditetapkan dalam rencana tata ruang propinsi dan sebagainya.
· Kewenangan dekonsentrasi seperti pembinaan AMDAL untuk usaha atau dan kegiatan di luar kewenangan pusat.
Kewenangan Kabupaten/Kota terdiri dari :
· Perencanaan pengelolaan lingkungan hidup;
· Pengendalian pengelolaan lingkungan hidup;
· Pemantauan dan evaluasi kualitas lingkungan;
· Konservasi seperti pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung dan konservasi, rehabilitasi lahan dsb.
· Penegakan hukum lingkungan hidup
· Pengembangan SDM pengelolaan lingkungan hidup.
C.  Pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat dan daerah dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup.
Pemerintah Pusat dalam melakukan kewenangannya di bidang pengelolaan lingkungan hidup harus mengikuti kebijakan yang telah diterapkan oleh Menko Wasbangpan dan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jangan sampai pengurangan kewenangan pemerintah Pusat di bidang lingkungan hidup tidak bisa mencegah kesalahan pengelolaan lingkungan hidup demi mengejar Pemasukan APBD khususnya dalam pos Pendapatan Asli Daerah.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf, bahwa desentralisasi adalah mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemda dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif. Dalam penerapan desentralisasi itu, menurut Sonny harus tercakup pula pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga dan lestari. Dengan demikian, kendati desentralisasi ala Indonesia tersebut pada awalnya merupakan reaksi politik untuk mempertahankan stabilitas dan integritas teritorial, namun paradigma otonomi demi kesejahteraan masyarakat lokal tetap bisa diwujudkan tanpa merusak kualitas lingkungan hidup setempat.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Daerah sekarang adalah Pemerintahan daerah harus meningkatkan Pendapatan Asli Daerah mereka untuk memenuhi target APBD (Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah) sehingga jalan termudah untuk memenuhi itu semua adalah mengeksploitasi kembali lingkungan hidup karena cara tersebut adalah cara yang biasa dilakukan pemerintah pusat untuk memenuhi APBN, dan cara ini akan terus dilakukan oleh Pemerintah daerah dengan baik.
Sehingga jika waktu yang lalu pemusatan eksploitasi lingkungan hidup hanya di daerah-daerah tertentu seperti Daerah Istimewa Aceh, Riau, Irian Jaya/ Papua, Kalimantan dan sebagian Proponsi di Pulau Jawa maka sekarang semua Pemerintah daerah di Indonesia akan mengekspoitasi lingkungan hidup sebesar-besarnya untuk memenuhi target APBD untuk daerah-daerah yang mempunyai sumber kekayaan lingkungan hidup yang besar, sehingga akan dapat terbayang semua daerah kota dan kabupaten di Indonesia akan melakukan eksploitasi lingkungan hidup secara besar-besaran.
Karena desentralisasi dalam UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dipunyai oleh daerah kota dan kabupaten.
Permasalahan yang timbul adalah antisipasi dari pemerintah pusat sebagai pemegan kewenangan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Karena seperti kita ketahui kewenangan Pemerintah Pusat adalah:
· Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro;
· Dana perimbangan keuangan seperti menetapkan dan alokasi khusus untuk mengelola lingkungan hidup;
· Sistem administrasi negara seperti menetapkan sistem informasi dan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup;
· Lembaga perekonomian negara seperti menetapkan kebijakan usaha di bidang lingkungan hidup;
· Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia;
· Teknologi tinggi strategi seperti menetapkan kebijakan dalam pemanfaatan teknologi strategi tinggi yang menimbulkan dampak;
· Konservasi seperti menetapkan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup kawasan konservasi antar propinsi dan antar negara;
· Standarisasi nasional;
·Pelaksanaan kewenangan tertentu seperti pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam lintas batas propinsi dan negara, rekomendasi laboratorium lingkungan dsb.
Seperti dijelaskan diatas maka kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah sangatlah penting dalam lingkungan hidup. Sehingga jika terjadi berbagai permaslahan yang timbul pemerintahan pusat harus menanganinya secara baik karena pemrintah pusat masih mempunyai kewenangan untuk mengadakan berbagi evaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga pemerintah daerah dapat menjalankan kewenanganya secara proporsional dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup.

D.  Menganalisa Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan tidak bisa dijadikan suatu kesempatan untuk mengeksploitasi lingkungan sehingga lingkungan menjadi rusak dan tidak bisa dipergunakan lagi bagi kelangsungan bangsa ini dan hal ini dilakukan hanya untuk mengejar Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah sehingga hanya untuk hal yang jangka pendek investasi jangka panjang dikuras habis.
Jika dilihat Kewenangan Pemerintah Pusat juga besar dalam hal ini sehingga perlu diberdayakan peran pemerintah dalam pengelolaan lingkungan dan juga fungsi dari pemerintah sebagai suatu instansi pengawas jika terjadi pengelolaan lingkungan yang tidak baik pad pemerintah daerah. Dalam hal ini perlu dikaji kembali berbagai kebijakan yang ada pada pemerintah Daerah sehingga tidak ada kebijkan-kebijakan yang berupa peraturan daerah yang merugikan lingkungan dan tidak memperhatikan keadaan masyarakat.
Oppenheim mengatkan dalam Nederlands Gemeenterecht bahwa:
“ Kebebasan bagian-bagin Negara sama sekali tidak boleh berakhir dengan kehancuran hubungan negara. Di dalam pengawasan tertinggi letaknya jaminan, bahwa selalu terdapat keserasian anatara pelaksanaan bebas dari tugas Pemerintah Daerah dan kebebasan pelaksanaan tugas Tugas Negara oleh Penguasa negara itu.
Van Kempen juga menulis dalam “Inleiding tot het Nederlandsch Indisch Gemeenterecht” bahwa otonomi mempunyai arti lain daripada kedaulatan( souvereniteit), yang merupakan atribut dari negara, akan tetapi tidak pernah merupakan atribut dari bagian- bagiannya seperti Gemeente, Provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara, bagaian-bagaian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri( zelfstandig) akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka( onafhnjelijk), lepas dari, ataupun sejajar dengan negara.
Dapatlah ditambahkan, bahwa pengawasan itu dimaksudkan pula agar daerah selalu melakukan kebijkannya dengan sebaik-baiknya sehingga produk kebijakan berupa peraturan daerah tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berada diatasnya.
Hal ini juga memerlukan peran penting dan koordinasi yang baik antara Meteri NegaraLingkungan Hidup denga aparat Pemerintahan Daerah sehinggdapat terjalinnya kerjasama yang baik antara pusat dan daerah dalam pengelolaan lingkungan.
Pengawasan oleh Pemerintah Pusat dapat dibenarkan untuk membangun negara Indonesia karena Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab secara keseluruhan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Negara dan Daerah.
Pengawasan terhadap segala tindakan Pemerintah Daerah termasuk juga Keputusan-keputusan Kepala Daerah terutama Peraturan-peraturan Daerah yang ada dapat diawasi, jika menilik sifatnya bentuk pengawasan bisa dibagi dalam:

1. Pengawasan preventif
2. Pengawasan represif
3. Pengawasan umum
Dan pemerintah Pusat juga harus diawasi oleh lembaga negara yang lain terutama lembaga perwakilan yang fungsinya berupa pengawasan, karena Pemrintah Pusat juga mempunyai kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan.



















BAB IV


PENUTUP

A   Kesimpulan

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pengelolaan lingkungan sangatlah besar sehingga perlu adanya pembatasan yang jelas dalam pengelolaan lingkungan tersebut.
Dan dalam melaksanakan hal tersebut telah diatur beberapa batasan yang jelas dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menko Wasbangpan.
Yang perlu dicermati adalah kewenangan Pemerintah Daerah yang sangat besar sehingga perlu adanya bentuk pengawasan yang baik yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sehingga janagn sampai terjadi berbagai kebijakan yang merusak lingkungan yang terjadi di setiap kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Pemerintah Pusat harus aktif dalam melakukan pengawasan sehingga pembangunan yang berwawasan lingkungan dapat dijalankan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
B.  Saran
  Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.



Daftar Pustaka
M. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan CV Sinar Bakti , 1988,h.256 op.cit, h. 257
UU NO 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
http://www.bapedal.go.id/media/serasi/00okt/lu1.html
Irawan Soejito, Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, Bina Aksara, Jakarta, 1983